Wanita dan Kedudukannya

 

Wanita dan Kedudukannya

Sebagai manusia kita harus percaya bahwa akan ada yang jauh lebih indah dari yang paling indah. Dunia bergerak maju layaknya arah jarum jam. Sama halnya dengan kehidupan. Semua akan bergerak maju tanpa berjalan mundur. Mundur adalah pekerjaan seorang pecundang.

Wanita merupakan salah satu keindahan dunia. Tanpa wanita dunia bisa apa? Kita bisa melihat dari sekian banyaknya pendidik yang mana rata-rata didominasi oleh wanita. Hal tersebut dikarenakan wanita lebih memiliki hati yang lembut dibandingkan pria. Selain itu, wanita tak hanya bisa mendidik tetapi wanita juga bisa melakukan apa yang bisa dilakukan seorang pria. Wanita juga bisa memimpin layaknya pemimpin pria. Seperti presiden RI yang ke lima yaitu Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau umumnya lebih dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri.

Sarmini Puji Lestari biasa disapa dengan nama Mimin. Gadis yang baru berusia 17 tahun telah mampu duduk dibangku Sekolah Menengah Atas. Seorang gadis desa yang berasal dari keluarga sederhana. Tetapi kecerdasan otak gadis tersebut tidak kalah dengan gadis kota yang berasal dari keluarga para pejabat. Selain ramah dan santun, Mimin selalu mendapatkan rangking satu dikelasnya. Jadi tak heran jika banyak guru yang memberikan pujian untuknya hingga diumurnya yang baru 17 gadis itu mampu menyelesaikan Sekolah  Menengah Atas.

Mimin selalu berkeinginan untuk menjadi seorang Menteri, tepatnya Menteri Pendidikan. Gadis itu terinspirasi dari salah satu pahlawan wanita Indonesia siapa lagi jika bukan Raden Ajeng Kartini. Pahlawan yang selalu mendukung kesetaraan hak asasi bagi wanita Indonesia. Bahwasannya wanita di Indonesia juga bisa mendapatkan Pendidikan yang layak dan sama dengan para laki-laki.  Mimin selalu berkeyakinan bahwa seorang perempuan harus berani, terus belajar dan terus mengejar cita-cita yang dimilikinya. Namun, keyakinannya berakhir nihil. Mimin tidak mendapatkan restu dari orang tuanya untuk melanjutkan pedidikannya. Padahal, gadis tersebut telah mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya melalui salah satu program beasiswa yang ada disekolahnya.

Mimin merasa sangat terpukul ketika sang mbok berkata “Wes talah nduk, nduk. Arek wedok kui akhire wes pancet nang buri yo nang dapur. Awakmu iki sopo, anak e wong tani seng lakone yo serabutan arep kuliah adoh. Mangan opo samean nang kono. Nang kene wae gelek mangan angel, opo maneh ning kono[1].”

Diam dan merunduk adalah posisi yang sedang Mimin nikmati saat itu. Gadis itu tidak bisa membangkang apa yang sudah ditetapkan oleh orang tuanya. Mematuhi setiap keputusan orang tuanya, yang dapat gadis itu lakukan. Di sisi lain Mimin sangat menyayangkan kesempatan itu. Namun, bagaimana lagi gadis itu harus meyakinkan kedua orang tuanya. Orang tua yang sama-sama beranjak lansia, yang tak pernah memiliki pengalaman bagaimana rasanya duduk dibangku sekolah apalagi dibangku sarjana. Dapat mengenal angka dan huruf saja sudah bersyukur. Mimin juga sedikit kecewa dengan cara berfikir orang tuanya. Dimana yang hanya bisa berpendidikan tinggi hanyalah para laki-laki, yang bisa menjadi seorang pemimpin adalah laki-laki dan yang dapat bekerja diluar rumah cukup para laki-laki. Wanita hanyalah dirumah, rumah dan rumah.

Tak lain yang membuat orang tua Mimin beranggapan serupa ada hal lain yang juga mendukung pemikiran negatif dibenak kedua orang tuanya. Banyak sekali berita mengenai kasus-kasus perempuan. Mulai dari kekerasan hingga pelecehan terhadap wanita yang menjadi alasan utama mengapa orang tua berat untuk mengizinkan gadisnya untuk melanjutkan Pendidikan ataupun bekerja yang harus meninggalkan rumah dan jauh dari orang tua. Sehingga para orang tua lebih memilih gadisnya untuk tetap dirumah saja.

Dua bulan berlalu, Mimin merasa sangat kecewa karena tidak bisa memanfaatkan kesempatan emasnya untuk melanjutkan pendidikannya. Setelah keluar dari sekolah menengah atas Mimin hanya bisa berdiam diri dirumah dan membantu kedua orang tuanya bercocok tanam sembari mencari kayu bakar untuk memasak. Biasanya Mimin hanya membantu mboknya didapur. Tapi tidak hari itu, hampir setengah hari Mimin berada diladang. Menikmati sejuknya pedesaan, melihat para petani berlalu-lalang, dan juga burung-burung yang berterbangan menghiasi cerahnya langit di pagi hari menjelang siang itu.

Mimin melihat beberapa anak kecil berambut panjang, ada yang dikuncir dan juga terurai lusuh sedang bermain diatas tumpukan jerami kering. Mimin pun bertanya-tanya pada dirinya sendiri “Mengapa anak seusia mereka sibuk bermain dibawahnya terik matahari. Bukankah jam segini harusnya dia duduk manis dibangku sekolah mendengarkan penjelasan sang guru?”

Merasa sangat penasaran, akhirnya Mimin bertanya pada sang mbok.

“Mbok, nopo niku lare-lare alit mpon jam sak menten kok tasek di jarne dulinan teng mriko. Sense kudu mlebet sekolah?[2]

“Yo ngunu keadaan e. Jaman saiki jek jarang cah wedok disekolah no. Sing di disikno yo cah lanang. Makane iku awakmu bersyukur jek iso sekolah duwur iki. Ndak usah kepikiran gawe nerusno sekolah adoh-adoh[3].” Ucap sang mbok.

“Nggeh mbok[4].” Jawab Mimin dengan kepala merunduk sembari berfikir sampai kapan para orang tua akan berhenti memiliki pemikiran seperti itu.

 Mimin memang merupakan salah satu gadis yang memiliki pendidikan paling tinggi dibanding gadis lain didesanya. Meskipun Pendidikan tertingginya hanyalah sekolah menengah atas. Kegiatan Mimin selama bersekolah hanyalah berdiam diri dirumah. Sepulang sekolah Mimin selalu mengulas kembali pelajarannya setelah itu membantu orang tuanya memasak dan juga merawat rumah. Jarang sekali Mimin keluar rumah selain bersekolah. Maka tak heran jika Mimin kurang mengetahui kegiatan diluar rumah. Sehingga Mimin sempat terkejut ketika melihat anak-anak perempuan kecil yang ketinggalan dunia pendidikannya.  

Miris, hingga saat ini juga pemikiran orang tua Mimin pun masih tertanam pada pemikiran orang tua lainnya. Hingga akhirnya Mimin pun berkeinginan untuk memberikan sedikit waktunya untuk mengajar anak-anak kecil didesanya, terlebih anak-anak perempuan. Mimin tidak ingin pemikiran para orang tua menghambat pendidikan anak-anaknya apalagi cita-citanya. Cukup Mimin yang merasakan kegagalan dalam menggapai cita-citanya.   

Mimin memang bukan gadis yang terlahir dari keluarga yang berada, tapi karena keinginannya yang sangat tinggi Mimin selalu berusaha bagaimana dirinya dapat mampu memenuhi kebutuhannya. Mimin mengumpulkan buku bekas sisa seolahnya. Mengumpulkan bagian kertas kosong dan merubahnya layak buku baru dengan kreatifitasnya dan memanfaatkan bahan seadanya. Hal tersebut Mimin lakukan sebagai alat tulis untuk anak-anak yang akan Mimin ajari. Serta buku-buku paket yang sudah tidak layak dipakai yang Mimin peroleh dari perpustakaan sekolahnya dulu yang sempat akan dibuang.

Satu minggu telah berlalu, Mimin mampu mengajar delapan anak perempuan dan satu laki-laki. Melihat perjuangannya, banyak sekali masyarakat yang merasa terbantu dengan kerja keras Mimin yang berkeinginan tak adalagi perbedaan pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Walaupun sempat ada perbincangan negatif dari beberapa warga mengenai pemikiran Mimin. Namun, perlahan Mimin berhasil menghapus pemikiran negatif para orang tua sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya pun Mimin mendapatkan perhatian dari kepala desa mengenai kerja kerasnya dan Mimin pun mendapatkan bantuan berupa beberapa alat tulis dan bahan ajar serta tempat mengajar yang layak.

 Semakin hari Mimin semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat. Hingga akhirnya Mimin dapat merubah pola pikir para orang tua perihal kedudukan wanita mengenai Pendidikan dan pekerjaan. Mimin pun diangkat sebagai guru disalah satu sekolah dasar yang ada di desanya dan tidak tanggung-tanggung Mimin juga mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Walaupun cita-cita Mimin belum terkabul namun Mimin sangat bahagia karena dapat merubah pola pikir para orang tua. Sejak itu juga tidak ada lagi alasan mengenai Pendidikan untuk wanita didesanya. Semua wanita berhak mendapatkan Pendidikan yang setara dengan laki-laki.



[1] “Sudahlah nak, nak. Anak perempuan itu akhirnya tetap didapur. Kamu ini siapa, anak seorang petani yang pekerjaannya hanya serabutan mau kuliah jauh. Makan apa kamu disana. Disini saja cari makan susah, apalagi disana.”

 

[2] “Ibu, kenapa anak-anak kecil itu jam segini masih dibiarkan bermain disana. Bukannya dia harus bersekolah?”

[3] “Ya begitulah keadaannya. Jaman sekarang jarang anak perempuan disekolahkan. Yang didahulukan ya anak laki-laki. Makanya itu kamu bersyukur masih bisa sekolah setinggi ini. Ndak usah kepikiran buat lanjutin sekolah jauh-jauh.”

 

[4] “Iya bu.”

 

Komentar

Postingan Populer